Senin, Januari 07, 2008

Laskar Pelangi

Laskar Pelangi..

Masih ada yang tidak tahu apa itu Laskar Pelangi? Wah kalau begitu anda harus membaca posting saya ini (hehe.. bukan bermaksud promosi loh..). Laskar Pelangi adalah judul sebuah novel yang merupakan karya seorang pemuda Indonesia yang bernama Andrea Hirata. Judul ini adalah novel pertama dari tetralogi karangan Andrea. Dan saya sarankan anda untuk membacanya!

Kalau melihat bukunya sih awalnya terus terang saya kurang tertarik. Habis, tebal! Hahhaa.. padahal membaca adalah hobi saya sejak dulu, tapi entah mengapa kalau melihat buku tebal apalagi kalau kertasnya bukan berjenis HVS (mm.. saya lupa nama kertas seperti ini apa, yang jelas seperti kertas koran) rasanya selera membaca saya berkurang. Tapi apa boleh buat, seorang sahabat memaksa saya untuk membacanya maka walaupun harganya cukup mahal untuk kantung mahasiswa (sekitar 60rb) saya beli juga buku ini.

Untuk membaca nya saya akui saya menghabiskan waktu yang cukup lama. Bukan karena bukunya tidak menarik (justru sangat menarik) tapi karena keinginan dan mood untuk membaca lagi tidak baik. Jadilah saya yang biasanya bisa menghabiskan buku setebal ini hanya dalam 2 hari, butuh waktu hingga lebih dari 2 bulan untuk menghabiskan buku ini. Hahaha.. sebuah pengakuan yang memalukan.

Buku ini sendiri merupakan kisah nyata masa kecil sang penulis. Ceritanya sendiri mengenai 10 orang anak di Belitong (saat ini Kep. Babel) yang berjuang untuk menempuh pendidikan di sekolah yang sangat miskin. Mereka ini adalah anak-anak orang Melayu dan Tiong-hoa miskin yang menganggap bahwa pendidikan yang mereka dapatkan adalah kemewahan. Rasanya akan panjang sekali jika saya harus menuliskan resensi buku ini, dan saya yakin anda juga akan letih membacanya. Jadi bagaimana jika saya tuliskan saja potongan-potongan dalam buku ini yang membuat saya berpikir, menangis, tertawa dan bahkan ‘tertampar’.

Di dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kalimat-kalimat seperti umumnya terdapat di kelas-kelas sekolah dasar. Kami juga tidak memiliki kalender dan tak ada gambar presiden dan wakilnya, atau gambar seekor burung aneh berekor delapan helai yang selalu menoleh ke kanan itu. Satu-satunya tempelan disana adalah sebuah poster, persis di belakang meja Bu Mus untuk menutupi lubang besar di dinding papan. Poster itu memperlihatkan gambar seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan ia memegang sebuah gitar penuh gaya. Matanya sayu tapi meradang, seperti telah mengalami cobaan hidup yang mahadahsyat. Dan agaknya ia memang telah memegang tekad bulat melawan segala bentuk kemaksiatan di muka bumi. Di dalam gambar tersebut sang pria tadi melongok ke langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan menimpa wajahnya. Di bagian bawah poster itu terdapat dua baris kalimat yang tak kupahami. Tapi nanti nanti setelah naik ke kelas dua dan sudah pintar membaca, aku mengerti bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT!”

Hahaha... saat membaca ini saya sampai tertawa kencang sekali! Sungguh menghibur.

Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh pendidikan, namun tak sehari pun ia pernah bolos. Delapan puluh kilometer pulang pergi ditempuhnya dengan sepeda setiap hari. Tak pernah mengeluh. Jika kegiatan sekolah berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya. Sering aku merasa ngeri membayangkan perjalanannya. Kesulitan itu belum termasuk jalan yang tergenang air, ban sepeda yang bocor, dan musim hujan berkepanjangan dengan petir yang menyambar-nyambar. Suatu hari rantai sepedanya putus dan tak bisa disambung lagi karena sudah terlalu pendek sebab terlalu sering putus, tapi ia tak menyerah. Dituntunnya sepeda itu puluhan kilometer, dan sampai di sekolah kami sudah bersiap-siap akan pulang. Saat itu adalah pelajaran seni suara dan dia begitu bahagia karena masih sempat menyanyikan lagu Padamu Negeri di depan kelas. Kami termenung mendengarkan ia bernyanyi dengan sepenuh jiwa, tak tampak kelelahan di matanya yang berbinar jenaka. Setelah itu ia pulang dengan menuntun sepedanya lagi sejauh empat puluh kilometer.”

Anda pasti merasa pernah merasa ‘tertampar’ bukan? Itu lah yang saya rasakan ketika membaca ini. Saya akui saya termasuk orang yang santai dan jarang memikirkan biaya untuk pendidikan yang harus dikeluarkan oleh orang tua saya. Maklum, sejak kecil saya bersekolah di sekolah-sekolah yang menurut saya bermutu baik. Dan orang tua saya selalu berusaha memenuhi kebutuhan pendidikan saya, walaupun saya juga bingung sekarang kalau dipikir-pikir lagi. Darimana yah kebutuhan saya dulu bisa terpenuhi? Tapi untungnya lagi saya dan adik saya bukan termasuk anak yang menuntut banyak kepada orang tua. Kami sedari kecil ditanamkan bahwa hidup itu susah.

Tabiat Pak Zulfikar adalah persoalan klasik di negeri ini, orang-orang pintar sering bicara meracau dengan istilah yang tak membumi dan teori-teori tingkat tinggi bukan untuk menemukan sebuah karya ilmiah tapi untuk membodohi orang-orang miskin. Sementara orang miskin diam terpuruk, tak menemukan kata-kata untuk membantah.”

Setuju! Tapi tidak semua orang pintar seperti ini kok..

Maka aku memiliki pandangan sendiri mengenai perkara cinta pertama ini, yaitu cinta pertama memang tak ‘kan pernah mati, tapi juga tak ‘kan pernah survive.”

No comment!

2 komentar:

Anonim mengatakan...

yup, bener. Buku itu adalah potret pendidikan di Indonesia.

dan inget2 masa kecil dulu, persahabatan memang segalanya....=D

heidy mengatakan...

setuju!! baca buku itu jadi kesel sendiri sama PN TIMAH. Hhhhh...

Persahabatan memang segalanya. Hidup persahabatan!

Hehe..